Minggu, 31 Juli 2011

CONTOH CERPEN :OASE DIHATI IBU

Sejak dulu aku menunggu...
menunggu sebuah oase dihatimu..
menunggu sebuah kasih yang mungkin terlampau mahal untuk kau beri..
menunggu sejumput keikhlasan cinta bagi diriku sendiri

A
ku adalah anak sulung dari empat bersaudara, jarak kami pun hanya selang satu tahun saja, adik pertama dan keduaku perempuan dan yang terakhir laki-laki. Sejak kecil kami terbiasa membagi apapun bersama-sama, makanan atau pun barang, kami jarang bertengkar kalaupun ada mungkin segera dapat diselesaikan, kami sangat rukun, tapi aku merasa sungguh berbeda dengan saudara-saudaraku itu. Biasanya saudara kandung itu sangat mirip bukan? Tapi tidak dengan ku, adik pertama dan keduaku Sisy dan Titi adalah gadis yang amat cantik, wajah keduanya sangat mirip, kulit mereka pun putih merona, membuat semua orang silau bila memandang mereka berdua, tapi aku? Aku hanya anak perempuan berkulit gelap yang tidak pintar berdandan. Pernah suatu hari aku mendengar seorang tetangga berkata pada ibuku
“jeng.. Pury beda ya dengan adiknya, adiknya cantik tapi dia kok nggak ya?”
“ah.. iya tahu tuh ngikutin siapa”jawab ibu singkat
Hatiku bagai tersengat listrik ribuan watt, bagaimana mungkin ibu menjawab demikian sedangkan aku adalah anaknya. Ahh.. mungkin saja ibu hanya bergurau pikirku dalam hati. ibu memang seperti itu, selalu berkata ketus, tapi aku yakin ibu tidak bermaksud menjelekkan aku.
***
P
agi ini aku kesiangan, ibu tidak membangunkanku untuk kesekolah sedangkan semua adikku sudah duduk di meja makan. Aku bergegas mandi dan ketika aku sampai dimeja makan semua sudah berangkat, makanan di meja pun sudah dirapikan.
“Bu, kok udah diberesin sih?” tanyaku
“salah sendiri kenapa kesiangan?, sudah SMA kok masih kesiangan?”jawab ibu yang berlalu pergi.
Akhirnya pagi itu aku berangkat kesekolah dengan perut kosong, aku paham memang sudah peraturan dirumah kalau waktunya makan harus makan bila terlambat maka tidak dapat jatah makan. Tapi masa sih ibu setega ini sama aku? Sedangkan waktu Ilham terlambat sarapan saja ibu tetap memberi dia makan dengan membawakannya bekal. Ahh.. ibu tidak adil.
Ini bukan hanya terjadi sekali ini saja tapi sudah berkali-kali, ibu memang memperlakukanku dengan berbeda sejak dulu, waktu SD ibu tidak pernah mengantar atau menjemputku sedangkan ketiga adikku diantar dan di jemput olehnya, aku malah di antar dan di jemput oleh supir, saat beliau sedang makan ia menyuapi makanan ke mulut Sisy, ketika aku meminta perlakuan yang sama ibu malah menyuruhku untuk mengambil sendiri. Saat hari ulang tahun kami, semua dijahitkan baju baru oleh ibu, sedangkan aku hanya di berinya uang untuk membelinya sendiri. Belum lagi ketika acara sekolah yang melibatkan orang tua murid, saat itu ibu diminta untuk datang tapi ibu malah menyuruh Bi Sumi untuk menggantikannya karena ia harus kesekolah Titi.
Adil..aku tak penah menerima kata adil itu dalam hidupku, tidak darinya tidak juga dari siapapun.
***
D
etik-detik pengumuman ujian telah di tentukan, aku sangat takut sekali akan hasilnya. Aku ingin membuktikan pada ibu bahwa aku bisa menjadi anak kebanggaanya. Hari ini ayah yang mengambil hasilnya kesekolah, karena ibu ada urusan di sekolah Ilham. Aku menunggu dirumah dengan cemas, tapi ayah belum pulang juga. Beberapa menit kemudian ibu pulang bersama Ilham, ibu mengatakan bahwa nilai rapot Ilham benar-benar bagus makanya ia lulus di SMPnya dengan nilai terbaik. Selang beberapa waktu Kemudian ayah pulang dengan wajah sendu. aku buru-buru bertanya mengenai hasil ujianku.
“Yah, gimana hasilnya, Pury luluskan?”
Ayah hanya diam, ibu langsung merebut kertas yang di pegang ayah. ibu membacanya dan diam lalu pergi sambil membuang kertas itu di lantai. aku bingung lalu tiba-tiba ayah bersorak
“LULUS..kamu lulus sayang, dengan nilai ujian tertinggi disekolah”
Aku lulus, menjadi yang terbaik pula, lalu kenapa ibu bersikap seperti itu? Bukankah beliau seharusnya mengucapkan selamat kepadaku, menciumku, dan memelukku seperti yang dilakukannya pada Ilham. ibu kenapa begitu? ayah menghampiriku dan mencium pipiku sambil mengatakan “ selamat ya sayang, Pury lulus dengan nilai terbaik, Pury mau hadiah apa dari ayah? Ayah akan berikan semua yang Pury inginkan”

ayah, hadiah yang ku inginkan hanyalah ibu mau memelukku, hanya itu

Andai aku bisa mengatakan itu pada ayah, meskipun ibu tidak memelukku tapi aku telah mendapat pelukan hangat dari ayah dan ketiga adikku, itu sudah cukup Allah.
***
L
ulus SMA aku tidak kuliah, aku memutuskan untuk bekerja, meski ayah berulang kali menanyakan alasan kenapa aku tidak mau kuliah aku hanya menjawab simpel saja “ Pury mau kerja dulu ayah, Pury akan kuliah pakai uang Pury sendiri”.  Sebenarnya bukan karena alasan itu, tapi karena aku tidak mau merepotkan ayah dan ibu lagi, terlebih lagi aku mendengar keluhan ibu kepada ayah yang merasa lelah harus mengurus aku, saat itu ibu mengusulkan agar aku dikuliahkan diluar kota saja biar tidak selalu di rumah. Selama sebulan aku menjadi pengangguran dirumah, dan selama itu pula ibu mengoceh tiada henti.
“ kuliah nggak mau, sampai sekarang belum kerja juga, mau jadi apa lulusan SMA? Dari kemarin Cuma melototin koran saja”
ibu selalu seperti itu, berkata dengan ketusnya, aku sempat berpikir apa aku ini bukan anaknya? Apa aku salah? Aku kesal pada ibu, aku tersinggung, bukankah seharusnya beliau menyemangatiku? Memberikanku dorongan untuk maju? Tapi aku malah menerima perlakuan sebaliknya. Setiap aku sedih aku selalu kerumah mbah putri, ibu kandung ayah, aku selalu mendapat kasih sayang yang lebih darinya, Aku berkata pada mbah putri “ ibu tidak sayang aku mbah, ibu lebih sayang sama anaknya yang lain”
mbah putri selalu mengelus rambutku dan menidurkanku di pangkuannya sambil bercerita lirih dengan kalimat-kalimat yang menyangga perkataanku tadi, aku seperti seorang anak kecil dihadapannya.

 Andai saja cinta seperti ini bisa ku dapatkan dalam dirimu Bu..
***
A
ku diterima bekerja sebagai karyawan disebuah produk makanan di jakarta, aku pun mengatakan pada ayah. Tapi ayah melarangku untuk bekerja disana.
”jakarta? kamu ingin tinggal di jakarta dan kerja disana?, kenapa nggak yang di jogja aja sih sayang, disini kan juga banyak kerjaan?” ucap ayah
Aku mengerti dengan pasti bahwa sesungguhnya ayah tidak mau aku jauh darinya tapi aku ingin pergi jauh dan mengurangi beban ibu untuk merawatku.
“biarlah Pury pergi, biar dia mandiri, kalau kamu takut biar Pury tinggal bersama kakak ku disana”ucap ibu menyanggah

Bu..kau ingin aku pergi karena tidak mau aku bersamamu kan bu? Karena aku selalu merepotkanmu dan membuatmu marah kan bu?

Hhhh.. jahat sekali aku berpikir seperti itu tentang ibu, mungkin ibu memang hanya ingin aku mandiri saja. Di ujung hatinya pasti tidak rela aku pergi.
***
lima tahun kemudian
“kapan kamu siap? Kenapa kamu nggak kenalin aku ke orang tuamu?” kata Rahman
Lelaki jangkung itu menatapku terus menerus, menunggu jawabanku yang masih sibuk menghabiskan  jus mangga.
“Pury..jawab aku?”tambahnya lagi
“Man,aku bingung, aku pergi ke jakarta untuk bekerja dan kuliah, dan aku malah bertemu denganmu, kuliah saja belum ku mulai dan bagaimana mungkin aku mengatakan bahwa aku mau menikah?”
“sekarang terserah kamu, aku nggak akan maksa, kamu pikirkan lagi, menikah denganku, atau terus kerja rodi seperti ini” ucapnya yang berlalu pergi meninggalkan aku di meja cafe sendiri.
Rahman memang baik, aku bertemu dengannnya di cafe ini, dua tahun yang lalu, dia adalah seorang pengusaha tanaman di daerah bogor, selama aku berada di jakarta aku bekerja di berbagai tempat, itu semua demi mengumpulkan uang untuk kuliah, pagi aku bekerja di toko roti, siang aku di cafe ini dan malam aku bekerja membuat sulaman dari rumah tetangga. Selama ini aku belum pulang ke jogja paling hanya menelepon saja, untungnya ayah mengerti, ayah bilang ia dan semuanya merindukanku, aku percaya bahwa ayah, mbah putri dan adikku merindukanku tapi apa ibu juga? Ah ibu.. sudah lama aku tak mendengar suaramu.

Haruskah aku menikah? Meninggalkan semua tujuanku selama ini?
***
H
ari ini aku kembali ke jogja bersama Rahman, ya.. aku telah memutuskan untuk menikah dengannya, entah apa nanti yang akan dikatakan ibu, aku sudah tidak perduli, aku berhak memilih kebahagiaanku sendiri. Sebenarnya aku memilih melakukan ini karena suatu hal, suatu hal yang membelokanku kepada sebuah takdir yang tidak dapat aku prediksi, aku menderita penyakit kronis, tepatnya penyakit ginjal, dokter Reza bilang aku harus selalu cuci darah dua minggu sekali dan itu semua dengan biaya yang tidak sedikit. Selama ini aku membiayai cuci darahku sendiri, orang tuaku pun tidak tahu, aku menyembunyikannya dari keluargaku. Aku sudah menyembunyikan ini selama 3 tahun, Tadinya aku juga menyembunyikanya dari Rahman tapi ternyata waktu pun memperlihatkan sendiri padanya, ia melihatku jatuh pingsan di depan apotik saat akan membeli obat, saat itu ia tidak bertanya apapun perihal kenapa aku pingsan, dan untuk apa aku membeli obat, rupanya ia mencari tahunya sendiri dari obat yang ku beli. Ia tahu dengan pasti penyakitku, tapi ia tetap mau menikahiku, ya Rahman telalu baik untukku, dulu ku pikir bagaimana mungkin seorang gadis berpenyakit yang hidupnya di tentukan oleh selang darah masih bisa membayangkan pernikahan? Tapi Rahman meyakinkanku satu hal bahwa tidak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan, tidak ada alasan untuk menikahiku selain seperangkat cinta yang di junjungnya, aku pun luluh menerimanya, karena aku merasa bahwa aku harus memilih takdirku sendiri.
“katanya mau kuliah pakai uang sendiri, pergi nggak pulang-pulang, datang hanya bilang mau menikah, lihat adik-adikmu, Sisy sukses dengan program gurunya, Titi sukses dengan pilihanya sebagai perawat, dan Ilham memilih arsitektur” ibu terus berceloteh meskipun ada Rahman disana.
Yang ku pikirkan bukan apa yang akan dikatakan ibu selanjutnya tapi apa yang akan dikatakan Rahman melihat ibu yang terus menerus memarahiku, membandingkanku dengan ketiga anaknya, mengolok-olokku dengan berbagai hal yang membuat panas hati dan telinga.

Bu sesungguhnya aku sangat membencimu
Membenci tabiatmu yang seperti batu
Membenci semua hal yang keluar dari mulutmu
Karena tak pernah kutemukan rayuan disana
Adab kebanggaan pun seakan sirna
Bagai menebar puluhan duri disetiap kata

Rupanya kekhawatiranku tak berwujud rahman tidak mempermasalahkan tentang ibu, ia malah meyakinkanku bahwa semua akan berjalan sesuai rencana. Rahman kau sungguh baik, tapi apakah ini benar? Membiarkanmu menikahi perempuan berpenyakit yang tak tahu berapa lama lagi hidupnya, tapi kau selalu mengatakan bahwa cintamu tidak pernah pupus oleh waktu, oleh badai, oleh apapun yang menerjang, sesungguhnya yang ku takutkan adalah aku yang hanya akan memberimu kesusahan dan luka saja bila hidup bersamaku.

Hanya cinta yang bisa ku beri
Aku akan menutup kekurangan dihidupmu
Kasih sayang yang tak pernah disuguhkan oleh ibumu

Begitulah kau berjanji padaku, hingga aku mempercayakan hidupku padamu, hingga semua itu terbukti, seseorang yang selalu memenuhi janjinya, membawaku berobat setiap 2 minggu, menggendongku dalam pelukmu ketika kau temukan aku bersimbah darah dihadapanmu, kau tidak pernah jijik padaku, kau selalu memberi yang terbaik, kau tidak pernah mengeluh sekalipun, hingga malam hari ku dengar tangismu pecah bersama keheningan malam, memohon pada yang kuasa tentang hidupku yang tinggal menghitung hari, tentang ibuku yang tak pernah mau menjengukku, tapi kau menutupinya kau bilang” ibu tidak datang karena ku bilang kau sakit demam saja”aku memang tak pernah mengijinkanmu mengatakan apapun tentang penyakitku, tidak pada keluargaku atau siapapun. Hingga semua pintu itu terbuka dengan sendirinya. Saat itu Titi datang berkunjung ia menginap dirumah kami, saat itu penyakitku kambuh karena aku memakan makanan yang di bawa Titi, padahal dokter sudah melarang makan-makanan berbaur garam termasuk oseng-oseng kulit melinjo kesukaanku. Ia melihatku dengan jeli.
“mbak sakit?, kok mbak pucat?”tanyanya mendekat
“nggak kok mbak baik-baik aja”
“aku memang tidak dapat menyembunyikan ekspresiku saat itu terlebih lagi dihadapan seorang perawat seperti dirinya, ia pun menarik tanganku dan menggulung kaus panjang yang kukenakan. Ia melihatnya, bekas tusukan jarum suntik di semua tanganku.
“mbak cuci darah? Sejak kapan? Kok mbak nggak bilang? Kenapa mbak sembunyikan ini?”
Aku tidak dapat berkata apa-apa, aku hanya meringis, menahan sakit disekujur tubuhku, tiba-tiba semuanya gelap dan Aku pun tidak sadarkan diri.
***
A
ku telah sadar kembali, dengan puluhan selang diseluruh tubuhku, cairan-cairan itu bertukar tempat, berlari menuju jalur-jalur muaranya. Kulihat sesosok wanita menangis dihadapanku, memanggil namaku, ia terus menerus memanggilku bersama suara-suara lain disekelilingnya. Ibu.. ya ibu.., ibu datang menjengukku di rumah sakit, disaat kondisiku tidak dapat ku prediksi kembali, ibu.. aku ingin memanggilnya, memberitahunya bahwa aku sakit, memberitahunya bahwa sakit ini begitu sakit, memberi tahunya bahwa aku menyayanginya, aku ingin mengatakan bahwa  aku senang ia datang, memberitahunya bahwa aku ingin ia memelukku, tapi aku tidak mampu, mulutku tertutup tabung oksigen, tanganku dijerat oleh selang-selang plastik yang membuatku tak mampu menggapainya, ini seperti mimpi, ibu memelukku ia seperti mendengar semua yang ingin kukatakan, ia mendekapku lama sekali, air matanya jatuh dipipiku, entah apa yang ibu katakan aku tak bisa mendengarnya yang pasti dalam pelukmu aku akan pergi dengan bahagia Bu, pelukanmu bagai oase yang menyejukkan tubuhku. Aku tidak menyesal dilahirkan kedunia ini. Aku sangat berterimakasih karena Allah memberiku ibu seperti dirimu, aku tahu sesungguhnya kau sangat menyayangiku.

Aku telah tertidur lama
Tertidur dalam rahimmu
Kini aku akan tidur kembali dalam waktu yang sangat lama dalam oase dihatimu
Dalam kesejukan dekapan itu
***
EPILOG
D
i depan tanah merah hari itu, ia berada pada pembaringannya, pada jasad yang telah bersemayam dalam dasar bumi. Pada kerinduan kasih yang tak terlampiaskan sama sekali. Ia anakku. Anak pertamaku. Anak yang tak sempat ku sayangi. Karena kesalahanku sendiri, melihat wajahnya, mengingatkanku pada para pemerkosa yang biadab itu, yang membuatku membencinya. Ia memang tidak salah, ia tidak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia. Tapi aku telah menyia-nyiakannya. Maafkan aku anakku. Sesungguhnya aku sangat menyayangimu.
***
END
My inspiration is my aunty (Alm. Purwanti)
Sumber:cerpen ini adalah karya saya sendiri yang diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen "Kata Anak Muda" di UNINDRA PGRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar